Penulis : Kamsul Hasan (Ahli Pers Dewan Pers)
Jakarta, Warta Reformasi – Penasihat hukum (PH) dan Jaksa Penuntut Umum (JPU) sama-sama dalami status konten / tayangan YouTube pada ahli pers dalam sidang.
Persoalannya pada sidang dengan terdakwa Vicky Prasetyo selain tayang di Silet (RCTI) dan Insert (Trans TV) juga ada di channel YouTube.
Saudara ahli, tolong jelaskan channel YouTube itu produk pers atau media sosial, menurut saudara sesuai uraian awal tentang definisi pers.
Kamsul Hasan, Ketua Komisi Kompetensi dan Ahli Pers yang ditugaskan PWI Pusat memberikan keterangan ahli menjelaskan ;
1. Tayangan pada YouTube oleh YouTubers tidak masuk rana UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers karena tidak memenuhi persyaratan Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 2, Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 UU Pers, secara kumulatif.
2. Hasil kerja jurnalistik oleh perusahaan pers yang memenuhi syarat di atas, lalu dibagikan (share) ke berbagai media sosial termasuk YouTube tetap produk pers sepanjang tidak ada perubahan konten dan narasi.
3. Menjadi soal adalah produk pers oleh perusahaan berbadan hukum Indonesia, ingin monetisasi di YouTube kemudian menambahkan narasi atau konten agar menarik. Penambahan narasi dan konten ini yang berpeluang menjadi pidana di luar pers.
“Jadi harus dianalisis konten kasus per kasus, tidak bisa digeneralisir. Contoh konten YouTube Ikan Asin kan sudah inkracht dengan UU ITE,” jelas ahli pers yang juga dosen IISIP Jakarta, Kamis 10 Juni 2021.
Bila tidak termasuk produk jurnalistik, selain pemilik konten, nara sumber juga bisa terkena pidana bila ucapan bermasalah.
Ahli Pers yang juga dosen MM Comm Trisakti, menambahkan perusahaan pers yang memiliki akun resmi pada media sosial harus mempublikasikan dahulu di portal atau web berita sebelum berbagai pada media sosial.
Diungkapkan Kamsul Hasan, mantan Ketua PWI Jaya 2004 – 2009 dan 2009 – 20014, masih banyak perusahaan pers UMKM yang gunakan media sosial sebagai ”jembatan’.
Mereka mengirim tayangan video melalui YouTube, Instagram atau Facebook dll agar lebih cepat.
Padahal berbahaya bila rekam jejak digitalnya diselusuri akan terbukti bahwa konten itu terlebih dahulu ada di media sosial daripada perusahaan pers berbadan Indonesia.