Penulis OPINI : L.M. Aprizal Pallewa Putra, S.H (Direktur LBH KUBI)
Babel, Warta Reformasi – Koruptor merupakan kata yang tidak asing lagi kita dengar di telinga hampir dari setiap golongan masyarakat mengetahui apa itu korupsi walaupun tidak terlalu paham arti sesungguhnya.Dan mengutuk perbuatan yang tidak bermoril ini.Dan saat ini tindak pidana korupsi menjadi salah satu tindk pidana yang paling popular di masyarakat,di setiap pemberitaan baik media cetak maupun televisi hampir setiap harinya membahas tentang pemberian sanksi pidana hukuman mati (death penalty) terhadap koruptor.
Hukuman mati bagi pelaku korupsi memang dimungkinkan. Pada Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi secara eksplisit menyebutkan bahwa hukuman mati dapat di jatuhkan bagi pelaku tindak pidana korupsi dalam keadaan tertentu, menurut hemat penulis dalam penjelasan pasal ini seyogyanya yang di maksud keadaan tertentu adalah apabila tindak pidana dilakukan ketika negara berada dalam keadaan bahaya,terjadi bencana alam, mengulang tindak pidana korupsi, atau negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. Tapi bila kita kaji secara komperensif sejak undang-undang itu di kumandangkan hukuman mati secara formil tidak pernah di jatuhkan bagi koruptor.
Namun tujuan utama dari hukuman mati ini bermuara di efek jera sebab ini akan di kemukakan terus apabila melihat rendahnya hukuman yang dijatuhkan terhadap koruptor. Rendahnya vonis terhadap koruptor memang menjadi permasalahan dalam upaya pemberantasan korupsi, tapi hukuman mati bagi koruptor bukan hukuman yang patut. Sedangkan yang menjadi problem hukuman mati ini di jadikan alasan untuk menimbulkan efek jera,akan tetapi efek jera ini dari hukan mati menjadi alasan yang absurd,mengingat yang dihukum tak bisa lagi mengoreksi dan mempertanggungjawabkan perbuatan dan kesalahanya.
Menurut penulis alasan lain hukuman mati bukan langkah yang patut karena menestapakan penghormatan terhadap kemanusiaan,bila kita kaji secara mendalam hukuman mati melanggar hak untuk hidup dan merupakan bentuk pelanggaran terkeji terhadap Hak Asasi Manusia.Tapi di sini bukan berarti saya setuju dengan koruptor namun analisa saya mengemukakan jika melihat fakta formil Indonesia masih marak dengan korupsi,jadi menurut penulis jika di telisik secara komperensif masih ada hukuman yang jarang di terapkan atau dilakukan oleh aparat penegak hukum.
Pertama, sekecil apapun korupsinya penjatuhan hukuman minimal yakni 20 tahun atau seumur hidup, kedua, pencabutan hak politik sebab Undang-Undng Tindak Pidana Korupsi dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telang mengatur pencabutan hak politik sebagai pidana tambahan,kertiga,uang dari hasil korupsi dikembalikan seutuhnya, keempat, pemiskinan terhadap Koruptor dalam maksud konteks kerangka berfikir ini penggunaan Undang-Undang pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang harus digencarkan oleh apparat penegak hukum untuk merampas aset koruptor.Tentu saja langkah ini harus dilakukan secara jelas dan transparan agar tetap sejalan dengan hak asasi manusia.
Menurut penulis Seyogyanya Pengadilan saat ini hanya menerapkan kepada para koruptor untuk membayar denda tapi tak meminta uang hasil korupsinya kembali, seharusnya pengadilan berani menjatuhkan vonis kembali di tambahkan denda-denda lain sebab mereka harus hidup untuk mempertanggungjawabkan kesalahanya.
Disini saya selaku penulis bukan membela koruptor tapi ada hukuman lain yang lebih layak dan juga Efek jera seharusnya bisa di berikan tanpa memberikan hukuman mati tapi
memberikan sanksi yang lebih baik. Sebab apabilah hukuman mati di indahkan ini akan
bertentangan dengan Hak Asasi Manusia,Undang-Undang Dasar 1945, dan Pancasila.
Jadi berdasarkan uaraian di atas dapat kita simpulkan seyogyanya Kendatipun diatur oleh
hukum positif di Indonesia hukuman mati semestinya tak menjadi pilihan,banyak hukuman lain yang lebih layak dijatuhkan untuk menimbulkan efek jera bagi koruptor,dan juga hukuman mati sangat Tidak sesuai dengan norma-norma yang ada di Indonesia.