Palembang, Warta Reformasi – Kinerja Ketua Pengadilan Negeri (PN) Palembang Kelas I A Khusus Sumatera Selatan dipertanyakan sejumlah Advokat, hal tersebut dikatakan penasehat hukum Titis Rachmawati, S.H., M.H., Pasalnya terdapat empat perkara permohonan eksekusi tanah milik kliennya yaitu Bonny Halim, Indra Muliawan, Ratina dan Arif Rahman, sampai saat ini belum ada kejelasan dari pengadilan negeri (PN) Palembang.
“Titis menduga telah terjadi ‘tebang pilih’ dalam melakukan pelaksanaan proses ekseskusi yg dilakukan Ketua Pengadilan Negeri (PN) Palembang, Bongbongan Silaban. “Klien kami ini selalu bertanya perkembangan mengenai proses eksekusi kepada kami. Sementara kami sendiri, selalu mendapat jawaban tidak pasti dari KPN (Kepala Pengadilan Negeri),”ujarnya kepada wartawan, Jumat (29/5/2020).
Dia menjelaskan, kalau KPN tidak dapat ditemui karena kesibukannya, baik rapat, ada tamu, dinas luar dan lainnya, bahkan beliau selalu bilang, nanti kita akan pelajari dulu.
“Sudah sering kita tanyakan terus tindak lanjut atas pengajuan eksekusi, bahkan kita sudah ada surat tembusan dari KPT tentang menanyakan proses eksekusi yang diajukan, namun sampai saat ini belum menerima kabar pasti,” jelas Titis Rachmawati, didampingi Andre Yunialdi, Bayu Prasetya andrinata, di kantornya Jalan Kapten A Rivai No 50 – 51 Palembang.
Ketua DPD Ikadin Sumsel ini mengatakan, sejak KPN dijabat Bongbong Silaban, ada dugaan beberapa perkara mereka yang tersendat proses eksekusinya tidak ada kejelasan, padahal sebelumnya tidak pernah terjadi hal seperti ini.
“Sebelumnya tidak pernah terjadi. Meskipun terjadi, KPN selalu menjelaskan apa kendala, penyebab ataupub faktor lain yang menghalangi jalan keluar eksekusi. “Ini sejak KPN sekarang, sedikitpun tidak menjabarkan jalan keluarnya. Walaupun ada, harus melalui proses panjang, seperti harus menyurati sampai tiga atau empat kali dulu, barulah direspon dengan klarifikasi,” bebernya.
Dengan kejadian tersebut, dirinya dan rekan – rekan advokad cukup dibuat repot, karena menimbulkan kecurigaan bagi kliennya.
“Perkara ini ada yang sejak tahun 2005 sampai sekarang. Koordinasi sudah kami lalui, mengirimkan surat resmi juga dilakukan, namun masih belum ada jalan keluar. “sehingga terjadi krisis kepercayaan klien kepada kami selaku kuasa hukumnya, Seperti kita ketahui, menangani kasus dalam perkara perdata pasti membutuhkan waktu lama, biaya yang besar, harusnya pengadilan sebagai ujung tombak dari masyarakat dalam menempuh proses keadilan harusnya dapat mengakomodir hal-hal tersebut,” tegas Titis.**@(Ariel)