Peserta Focus Group Discussion (FGD) Ekspedisi Patriot menyimak pemaparan terkait komoditas unggulan Kabupaten PALI, dalam sesi diskusi yang digelar di Ruang Rapat Sekretariat Daerah Kabupaten PALI, Senin (20/10/2025).
Kabupaten PALI, Wartareformasi.com – Peserta Focus Group Discussion (FGD) Ekspedisi Patriot menyimak pemaparan terkait komoditas unggulan Kabupaten PALI, dalam sesi diskusi yang digelar di Ruang Rapat Sekretariat Daerah Kabupaten PALI, Senin (20/10/2025).
Pemerintah Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI) menegaskan komitmennya untuk mempertahankan karet sebagai komoditas unggulan utama daerah, di tengah tren konversi lahan ke perkebunan kelapa sawit. Hal ini menjadi salah satu kesimpulan penting dari kegiatan Focus Group Discussion (FGD) yang digelar dalam rangka Program Ekspedisi Patriot Transmigrasi di Kantor Bupati PALI, Senin (20/10/2025).
Dalam forum yang menghadirkan berbagai pemangku kepentingan—mulai dari perangkat desa, tokoh masyarakat, petani transmigran, hingga akademisi dari Universitas Sriwijaya—dibahas secara mendalam tantangan dan peluang sektor perkebunan rakyat di wilayah transmigrasi.
Kegiatan ini dibuka oleh Wakil Bupati PALI, Iwan Tuaji, yang menegaskan dukungan pemerintah daerah terhadap upaya penguatan agribisnis berbasis karet rakyat.
“Karet sudah menjadi bagian dari identitas ekonomi masyarakat PALI. Pemerintah daerah akan terus mendorong agar komoditas ini tidak tergeser, tetapi justru lebih produktif dan berdaya saing,” ujar Iwan Tuaji dalam sambutannya.
Ketua Program Studi Agribisnis Universitas Sriwijaya, Dr. Dessy Adriani, dalam pemaparannya menekankan bahwa dari sisi potensi lahan, kondisi iklim, dan tradisi budidaya, karet masih sangat relevan untuk menjadi komoditas unggulan PALI.
Berdasarkan data, luas areal karet di kabupaten ini mencapai lebih dari 70 ribu hektare dengan kontribusi signifikan terhadap pendapatan masyarakat transmigran. Namun, tantangan yang dihadapi tidak kecil. Penurunan produktivitas akibat tanaman tua, serangan jamur akar putih, serta fluktuasi harga global membuat sebagian petani mulai tergoda untuk beralih ke sawit.
“Kita tidak menolak pengembangan sawit, tetapi karet memiliki nilai sosial dan ekologis yang tinggi. Kuncinya ada pada peremajaan, bibit unggul, dan penguatan kelembagaan petani,” jelas Dessy.
Hasil diskusi kelompok juga merekomendasikan pengembangan koperasi dan unit pengolahan bahan olah karet rakyat (bokar) agar petani memiliki posisi tawar yang lebih baik di pasar. Selain itu, dibutuhkan sekolah lapang dan pelatihan teknis tentang pengendalian penyakit, pemupukan, serta hilirisasi produk karet agar memberikan nilai tambah.
“Kalau petani karet bisa menjual bokar dalam bentuk olahan yang berkualitas, bukan sekadar getah mentah, maka nilai jualnya akan meningkat signifikan,” ungkap salah satu peserta FGD, Fransiska Elsa, dari anggota tim Ekspedisi Patriot PALI.
Para peserta sepakat bahwa strategi mempertahankan karet sebagai komoditas utama harus dilakukan dengan pendekatan agribisnis modern yang terintegrasi. Pemerintah daerah diharapkan berperan dalam memfasilitasi akses modal, teknologi, dan pasar, sementara lembaga pendidikan seperti Universitas Sriwijaya dapat terus memberikan pendampingan berbasis riset.
FGD ini menjadi momentum penting untuk memperkuat sinergi antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat dalam menjaga keberlanjutan sektor perkebunan karet di Kabupaten PALI. Seperti disampaikan dalam penutupan kegiatan, “Karet bukan hanya soal getah—tetapi tentang ketahanan ekonomi rakyat dan masa depan agribisnis berkelanjutan di Bumi Serepat Serasan”.
Penulis : Rohmat Arief Julianto (Mahasiswa Universitas Diponegoro Semarang)