Oleh : Kamsul Hasan (Ahli Pers Dewan Pers)
Jakarta, Warta Reformasi – Jauh sebelum makalah Polri Presisi disampaikan oleh calon Kapolri di Komisi III DPR RI, saya sudah menulis berkali-kali tentang perlunya jurnalistik presisi.
Berawal dari MoU Dewan Pers dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) karya jurnalistik diharapkan tidak lagi melanggar hak anak.
KPAI pada tahun 2018 mengingatkan Dewan Pers bahwa semua stakeholder harus mematuhi UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).
Pasal 19 UU SPPA melarang identitas anak berhadapan dengan hukum diberitakan baik dengan media cetak dan media elektronik.
Asisten Deputi Partisipasi Media Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak melanjutkan aksi kegiatan dengan membuat MoU dengan Dewan Pers.
Pasal 19 UU SPPA kemudian dirumuskan menjadi Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA) dengan 12 butir panduan terkait hak anak.
Sosialisasi bersama pun dilakukan pada berbagai daerah. Usia PPRA yang baru seumur jagung, disahkan pada HPN Surabaya, 9 Februari 2019 seperti kehilangan induk.
Asdep Partisipasi Media hilang dari struktur di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, padahal pelanggaran terhadap hak anak yang diatur PPRA masih tinggi.
Selain soal pemberitaan UU SPPA juga mengatur tentang polisi ramah anak, jaksa ramah anak, hakim ramah anak, panitera ramah anak dll.
Semua serba ramah anak harus sudah diterapkan pada tahun 2017, setelah lima tahun UU SPPA disahkan. Begitu peringatan UU SPPA.
Namun perintah UU SPPA ternyata belum sepenuhnya terlaksana. Kendalanya antara lain soal akta kelahiran.
Padahal akta kelahiran adalah hak asasi manusia yang harus diberikan sebagai identitas sejak lahir agar semua urusan presisi.
Akta terkait ketika seseorang melakukan tindak pidana. Dia tidak bisa hanya didasarkan pada tahun kelahiran saja.
Mereka yang melakukan tindak pidana harus presisi berstatus anak atau telah dewasa. Usia 18 tahun merupakan simpang jalan antara anak dan dewasa.
Saat menggelar perkara dan jumpa pers, polisi presisi harus sudah memiliki kepastian, tersangka masih berstatus anak atau telah dewasa.
Tidak presisi penyidikan tentang usia anak bisa berdampak pada pemberitaan yang melanggar hak anak dan diancam lima tahun penjara.
Itu sebabnya saya berulang kali mengingatkan wartawan menerapkan jurnalistik presisi agar tidak melanggar hukum.
Jurnalistik presisi terkait hak anak yang rawan adalah pada usia 12 tahun dan 18 tahun sebagaimana diatur UU SPPA.
Anak yang berusaha belum genap 12 tahun tidak dapat dipidanakan. Sedangkan mereka yang berusia 12 tahun sampai belum genap 18 tahun adalah anak berhadapan dengan hukum.
Jadi, jurnalistik presisi itu harus ‘kepo’ apabila polisi menyebut usia 12 tahun dan 18 tahun. Apakah saat melakukan tindak pidana usianya sudah genap ?
Polri Presisi yang disampaikan calon Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo diharapkan bisa membantu Jurnalistik Presisi.
Semoga saja !